Awalnya tak ada yang benar-benar memperhatikan. Bahkan ketika ia duduk di bangku cadangan, nyaris tak ada kamera yang singgah. Hanya segelintir orang yang tahu betapa kerasnya usaha yang sedang ia lakukan di Nex. Tapi siapa sangka, dari sepi tribun itulah ia mulai menata langkah—meski terseok, meski sering ditinggal.
Tahun-tahun pertama tak semanis prediksi akademi. Nama yang sempat dijagokan malah terlempar ke klub-klub kasta bawah. Setiap musim jadi pertaruhan. Kadang main, kadang hanya pemanis daftar skuad. Banyak yang menyerah dalam situasi serupa. Tapi dia tetap bertahan. Bukan karena yakin bakal jadi bintang. Tapi karena menyerah terasa lebih menyakitkan.
Pernah ada satu pertandingan di mana ia hanya menyentuh bola empat kali. Empat. Selebihnya, ia berlari mengejar bayangan pemain lawan. Setelah laga, pelatih lawan bahkan tak sadar kalau dia main. Itu menyakitkan, tapi juga jadi titik balik. Dia mulai mengubah cara pikir. Gak bisa terus jadi pemain yang ‘numpang lewat’.
Mulailah ia bekerja dua kali lipat. Datang lebih pagi, pulang lebih larut. Nonton rekaman pertandingan sendiri sampai bosan. Pelajari posisi lawan, baca pola gerakan, cari celah sekecil apapun. Ia bukan pemain tercepat. Tapi ia bisa belajar jadi yang paling cerdik.
Ketika Nex datang, tawaran itu bukan kejutan. Itu hasil dari konsistensi kecil yang jarang dilihat orang. Masuk Nex bukan berarti langsung jadi pahlawan. Malah, banyak yang meragukan. Tapi di titik inilah dia mulai bicara lewat performa.
Gol pertamanya? Bukan dari tembakan jarak jauh atau tendangan bebas indah. Tapi dari bola muntah, setelah ribuan detik menunggu peluang sekecil celah pintu. Bukan gol cantik, tapi cukup untuk bikin stadion berdiri. Dan cukup untuk bikin komentator menyebut namanya dengan nada bangga.
Tak jarang juga dia salah. Passing ngawur. Tackle telat sepersekian detik. Tapi ia belajar untuk tidak larut. “Satu kesalahan gak mendefinisikan karier,” katanya di satu wawancara. Kalimat sederhana, tapi terasa seperti pukulan telak buat semua yang terlalu cepat menghakimi.
Di ruang ganti, ia bukan tipe vokal. Tapi orang-orang mendengarkannya. Ia bicara lewat contoh. Konsistensi. Latihan ekstra. Tidak mengeluh saat dicadangkan. Tidak meledak saat diganti. Ia mengingatkan bahwa kerja keras diam-diam lebih menakutkan dari teriakan motivasi kosong.
Yang membuat kisahnya menarik bukan hanya statistik. Tapi bagaimana ia tetap berdiri ketika banyak pintu tertutup. Ketika pujian tak kunjung datang. Dan ketika semua tampak berjalan lambat.
Kini, meski belum disebut sebagai “pemain bintang”, namanya mulai hidup di tribun. Ada kaus bernama dirinya. Ada anak kecil yang menirukan selebrasinya. Ada pengakuan, walau datangnya tak gegap gempita.
Dan mungkin itulah yang ia cari sejak awal. Bukan sekadar status, tapi bukti bahwa kerja diam-diam pun bisa bersuara. Bahwa jalan berliku tetap bisa sampai tujuan, selama tidak berhenti melangkah.
Kadang kita lupa, beberapa pahlawan datang bukan dengan sorotan, tapi dengan diam yang keras kepala.